Lewati navigasi

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab IV pasal 5 ayat 1 dinyatakan bahwa setiap warganegara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Warganegara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Hal ini menunjukkan bahwa anak yang memiliki kelainan dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (anak normal) dalam pendidikan.

Selama ini, pendidikan bagi anak yang memiliki kelainan dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa atau anak berkebutuhan khusus (ALB) disediakan dalam tiga macam lembaga pendidikan, yaitu Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. Pendidikan terpadu adalah sekolah biasa yang juga menampung anak berkebutuhan khusus, dengan kurikulum, guru, sarana pengajaran, dan kegiatan belajar mengajar yang sama. Namun selama ini baru menampung anak tunanetra, itupun perkembangannya kurang menggembirakan karena banyak sekolah umum yang keberatan menerima anak berkebutuhan khusus. Di samping itu keberadaan sekolah khusus lokasinya sebagian besar berada di Ibu Kota Kabupaten, padahal anak-anak berkebutuhan khusus tersebar hampir di seluruh daerah (Kecamatan/Desa). Akibatnya, sebagian anak-anak berkebutuhan khusus, terutama yang kemampuan ekonomi orang tuanya lemah, terpaksa tidak disekolahkan karena lokasi SLB jauh dari rumah; sementara kalau akan disekolahkan di SD terdekat, SD tersebut tidak bersedia menerima karena merasa tidak mampu melayaninya. Sebagian yang lain, mungkin selama ini dapat diterima di SD terdekat, namun karena ketiadaan pelayanan khusus bagi mereka, akibatnya mereka beresiko tinggal kelas dan akhirnya putus sekolah. Permasalahan di atas apabila dibiarkan akan berakibat pada kegagalan program wajib belajar. Melalui pendidikan inklusif, anak berkebutuhan khusus dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki anak melalui pendidikan di sekolah terdekat. Sudah barang tentu sekolah terdekat tersebut perlu dipersiapkan segala sesuatunya.

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

Pendidikan inklusif adalah pendidikan reguler yang disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa pada sekolah regular dalam satu kesatuan yang sistemik. Pendidikan inklusif merupakan pendidikan di sekolah biasa yang mengakomodasi semua anak berkebutuhan khusus yang mempunyai IQ normal diperuntukan bagi yang memiliki kelainan (intelectual challenge), bakat istimewa, kecerdasan istimewa dan atau yang memerlukan pendidikan layanan khusus.

Sekolah Inklusif adalah sekolah reguler yang mengkoordinasi dan mengintegrasikan siswa reguler dan siswa penyandang cacat dalam program yang sama, dari satu jalan untuk menyiapkan pendidikan bagi anak penyandang cacat adalah pentingnya pendidikan Inklusif, tidak hanya memenuhi target pendidikan untuk semua dan pendidikan dasar 9 tahun, akan tetapi lebih banyak keuntungannya tidak hanya memenuhi hak-hak asasi manusia dan hak-hak anak tetapi lebih penting lagi bagi kesejahteraan anak, karena pendidikan Inklusif mulai dengan merealisasikan perubahan keyakinan masyarakat yang terkandung di mana akan menjadi bagian dari keseluruhan, dengan demikian anak penyandang cacat akan merasa tenang, percaya diri, merasa dihargai, dilindungi, disayangi, bahagia dan bertanggung jawab. Inklusif terjadi pada semua lingkungan sosial anak, Pada keluarga, pada kelompok teman sebaya, pada sekolah, pada institusi-institusi kemasyarakatan lainnya. Sebuah masyarakat yang melaksanakan pendidikan inklusif berkeyakinan bahwa hidup dan belajar bersama adalah cara hidup (way of life) yang terbaik, yang menguntungkan semua orang, karena tipe pendidikan ini dapat menerima dan merespon setiap kebutuhan individual anak. Dengan demikian sekolah atau pendidikan menjadi suatu lingkungan belajar yang ramah anak-anak. Pendidikan inklusif adalah sebuah sistem pendidikan yang memungkinkan setiap anak penuh berpartisipasi dalam kegiatan kelas reguler tanpa mempertimbangkan kecacatan atau karakteristik lainnya. Disamping itu pendidikan inklusif juga melibatkan orang tua dalam cara yang berarti dalam berbagi kegiatan pendidikan, terutama dalam proses perencanaaan, sedang dalam belajar mengajar, pendekatan guru berpusat pada anak.

 

A. Konsep Pendidikan Inklusif

Pendidikan inklusif merupakan perkembangan terkini dari model pendidikan bagi anak yang berkebutuhan khusus. Model pendidikan khusus tertua adalah model segregasi yang menempatkan anak-anak berkelainan di sekolah-sekolah khusus, terpisah dari teman sebayannya. Sekolah-sekolah ini memiliki kurikulum, metode mengajar, sarana pembelajaran, sistem evaluasi, dan guru khusus. Namun demikian, dari sudut pandang peserta didik, model segregasi dirasa merugikan. Model ini tidak menjamin kesempatan anak berkelainan mengembangkan potensi secara optimal, karena kurikulum dirancang berbeda dengan kurikulum sekolah biasa. Siswa segregasi ini dipersiapkan kelak dapat berinteraksi dengan masyarakat normal, tetapi mereka dipisahkan dengan masyarakat normal sehingga terasa model ini kurang logis. Kelemahan lainnya yang tidak kalah penting adalah bahwa model segregasi relative mahal.

Belajar dari berbagai kelemahan model segregasi maka pada abad XX muncul model mainstreaming yang memungkinkan berbagai alternative penempatan pendidiakn bagi anak berkebutuhan khusus. Alternative yang tersedia yaitu mulai dari yang sangat bebas (kelas biasa penuh) sampai yang paling terbatas (sekolah khusus sepanjang hari). Oleh karena itu, model ini juga dikenal dengan model tidak terbatas, artinya seorang anak yang berkebutuhan khusus harus ditempatkan pada lingkungab yang tidak terbatas menurut potensi dan jenis / tingkat kelainannya.

Saat ini model yang sedang diperjuangkan untuk semua anak berkebutuhan khusus adalah model inklusi. Staub dan Peck (1995) mengemukakan bahwa pendidikan inklusif adalah penempatan anak berkebutuhan khusus tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas regular. Hal ini menunjukkan bahwa kelas regular merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak berkelaianan, apapun jenis kelainannya dan bagaimana pun gradasinya. MElalui pendidikan inklusif, individu yang berkebutuhan khusus dididik bersama-ssama individu kainnya yang normal untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinnya. Hal ini dilandaskan kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal dan anak lun

 

B. Perlunya pendidikan inklusif

Pendidikan inklusif perlu ada karena:

1.      Mutu pendidikan masih belum memuaskan

  1. Masih banyak anak usia sekolah belum mendapat layanan pendidikan yang baik.
  2. Pendidikan masih diskriminatif.
  3. Pembelajaran masih teacher centre
  4. Proses Belajar Mengajar (PBM) belum mengakomodasi kebutuhan siswa
  5. Lingkungan pendidikan masih belum ramah anak
  6. Pembelajaran masih belum berbasis learning style siswa.
  7. PBM belum dilaksanakan dengan aktif, kreatif, dan menyenangkan.
  8. Pembelajaran belum menghargai keberagaman.

 

C. Tinjauan tentang Pendidikan Inklusif dalam Praktek

Menurut the Council for Exceptional Children, sejumlah penelitian menunjukkan bahwa inklusif  siswa penyandang cacat (dari bermacam-macam kategori kecacatan dengan berbagai tingkat keparahannya) ke dalam kelas reguler berhasil dengan baik bila didukung oleh faktor-faktor berikut ini:

1. Sikap dan keyakinan yang positif:

  • Guru reguler yakin bahwa siswa penyandang cacat akan berhasil.
  • Kepala sekolah merasa bertanggung jawab atas hasil belajar siswa penyandang cacat.
  • Seluruh staf dan siswa sekolah yang bersangkutan telah dipersiapkan untuk menerima kehadiran siswa penyandang cacat.
  • Orang tua anak penyandang cacat terinformasi dan mendukung tercapainya tujuan program.
  • Guru pembimbing khusus memiliki komitmen untuk berkolaborasi di dalam kelas reguler.

 

2. Tersedia layanan khusus dan adaptasi lingkungan fisik dan peralatan:

  • Tersedia layanan khusus yang dibutuhkan oleh siswa penyandang cacat (misalnya layanan orientasi bagi siswa tunanetra, terapi fisik bagi siswa tunadaksa, terapi ujaran bagi siswa tunarungu), yang dikoordinasikan oleh guru pembimbing khusus.
  • Adaptasi/modifikasi lingkungan fisik dan peralatan sekolah agar dapat memenuhi kebutuhan semua siswa (termasuk barang-barang mainan, fasilitas bangunan dan lahan bermain, bahan pelajaran dalam format yang aksesibel, peralatan asistif).

 

3. Dukungan sistem:

  • Kepala sekolah memahami kebutuhan khusus siswa penyandang cacat.
  • Tersedia personel dengan jumlah yang cukup, termasuk tenaga guru pembimbing khusus dan guru bantu (teacher’s aid).
  • Ada upaya pengembangan staf dan pemberian bantuan teknis yang didasarkan pada kebutuhan personel sekolah (misalnya pemberian informasi yang tepat mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kecacatan, metode pengajaran, kegiatan kampanye kesadaran dan penerimaan bagi para siswa, dan latihan keterampilan kerja tim).
  • Terdapat kebijakan dan prosedur yang tepat untuk memonitor kemajuan setiap siswa penyandang cacat, termasuk untuk asesmen dan evaluasi.

 

4. Kolaborasi:

  • Guru pembimbing khusus menyiapkan program pengajaran individualisasi (individualized educational program) bagi siswa penyandang cacat, dan merupakan bagian dari tim pengajar di kelas reguler.
  • Pendekatan tim dipergunakan untuk pemecahan masalah dan implementasi program.
  • Guru reguler, guru pembimbing khusus dan spesialis lainnya berkolaborasi (misalnya dalam co‑teaching, team teaching, teacher assistance teams).

 

5. Metode pengajaran:

  • Guru memiliki pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk memilih dan mengadaptasikan materi pelajaran dan metode pengajaran menurut kebutuhan khusus setiap siswa.
  • Dipergunakan berbagai strategi pengelolaan kelas (misalnya team teaching, cross‑grade grouping, peer tutoring, teacher assistance teams).
  • Guru menciptakan lingkungan belajar kooperatif dan mempromosikan sosialisasi bagi semua siswanya.

 

6. Dukungan masyarakat:

  • Masyarakat lingkungan anak menyadari bahwa anak penyandang cacat merupakan bagian integral dari masyarakat tersebut.
  • Terdapat organisasi penyandang cacat yang aktif melakukan advokasi dan kampanye kesadaran masyarakat, dan berfungsi sebagai wahana untuk mempertemukan anak dengan orang dewasa penyandang cacat sebagai model guna memperkuat motivasi belajarnya.

 

 

 

D. Perbedaan Pendidikan Inklusif , Pendidikan Terpadu Dan Pendidikan Pada Umunya

Pendidikan pada umumnya adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengem¬bangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pada umumnya peserta didik dalam pendidikan umum/pendidikan reguler adalah peserta didik normal, sehingga kurikulum, tenaga guru, sarana dan prasarana, lingkungan belajar dan proses pembelajarannya dirancang untuk anak normal. Hal ini karena asumsi yang melandasi adalah bahwa peserta didik memiliki kemampuan yang homogin. Sebaliknya pada pendidikan inklusif peserta didiknya adalah peserta didik yang memiliki kelainan dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa yang ada di sekolah reguler. Sehingga kurikulum, tenaga guru, sarana dan prasarana, lingkungan belajar dan proses pembelajarannya harus dirancang sedemikian rupa untuk memungkinkan semua peserta didik dapat mengembangkan potensinya.

Pendidikan terpadu merupakan pendidikan yang memberi kesempat¬an kepada peserta didik yang memiliki kelainan dan/atau memiliki kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan di sekolah reguler. Perbedaan yang menonjol antara pendidikan terpadu dengan pendidikan inklusif terletak pada sistem pendidikan yang ada di sekolah tersebut. Sekolah terpadu, peserta didiknya mengikuti sistem yang ada di sekolah reguler. Sedangkan pendidikan inklusif, sistem pendidikan yang digunakan menyesuaikan dengan kebutuhan peserta didiknya.

 

E. Faktor Penentu Utama Yang Perlu Diperhatikan Agar Implementasi Pendidikan Inklusif Bertahan Lama:

a) Adanya kerangka yang kuat – rangka: Pendidikan inklusif perlu didukung oleh kerangka nilai-nilai, keyakinan, prinsip-prinsip, dan indikator keberhasilan. Ini akan berkembang seiring dengan implementasinya dan tidak harus ‘disempurnakan’ sebelumnya. Tetapi jika pihak-pihak yang terlibat mempunyai konflik nilai-nilai dll., dan jika konflik tersebut tidak diselesaikan dan disadari, maka pendidikan inklusif akan mudah ambruk.

b) Implementasi berdasarkan budaya dan konteks lokal-‘dagingnya’: Pendidikan inklusif bukan merupakan suatu cetak biru. Satu kesalahan utama adalah asumsi bahwa solusi yang diekspor dari suatu budaya/konteks dapat mengatasi permasalahan dalam budaya/konteks lain yang sama sekali berbeda. Lagi-lagi, berbagai pengalaman menunjukkan bahwa solusi harus dikembangkan secara lokal dengan memanfaatkan sumber-sumber daya lokal; jika tidak, solusi tersebut tidak akan bertahan lama.

c) Partisipasi yang berkesinambungan dan refleksi diri yang kritis–“darah kehidupannya”: Pendidikan inklusif tidak akan berhasil jika hanya merupakan struktur yang mati. pendidikan inklusif merupakan proses yang dinamis, dan agar pendidikan inklusif terus hidup, diperlukan adanya monitoring partisipatori yang berkesinambungan, yang melibatkan SEMUA stakeholder dalam refleksi diri yang kritis. Satu prinsip inti dari pendidikan inklusif adalah harus tangap terhadap keberagaman secara fleksibel, yang senantiasa berubah dan tidak dapat diprediksi. Jadi, pendidikan inklusif harus tetap hidup dan mengalir. Secara bersama-sama, ketiga faktor penentu utama tersebut(rangka, daging dan darah) memberntuk organisme hidup yang kuat, yang dapat beradaptasi dan tumbuh dalam budaya dan konteks lokal.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Pendidikan inklusif merupakan satu inovasi, khususnya dalam pendidikan bagi penyandang cacat. Ideologi dan pendekatan ini pertama kali muncul dalam dokumen international adalah pada tahun 1994 dalam The Salamanca Statement. Kini pendekatan ini belum sepenuhnya diterapkan di seluruh dunia, tetapi kecenderungannya adalah semakin dapat diterima oleh masyarakat luas. Satu faktor yang tampaknya menentukan penerimaan masyarakat terhadap ideologi pendidikan inklusif ini adalah difusi inovasi ini. Dalam pencarian di Internet melalui Google yang dilakukan oleh penulis pada tanggal 20 Desember 2005 pukul 08.05, dalam masa pencarian selama 0,23 detik ditemukan 682.000 hasil pencarian untuk “inclusive education”, dan selama 0,19 detik ditemukan 352 untuk “pendidikan inklusif”. Jumlah ini menunjukkan bahwa informasi tentang pendidikan inklusif telah menyebar secara luas. Di samping difusi melalui saluran komunikasi Internet, dilakukan juga difusi melalui saluran interpersonal dalam bentuk seminar, lokakarya, dan semacamnya, dengan intensitas yang relatif tinggi.

Tujuan akhir dari semua upaya di atas adalah kesejahteraan para penyandang cacat yang memperoleh segala haknya sebagai warga negara. Apakah penempatan anak-anak penyandang cacat did sekolah reguler saat ini akan benar-benar baik bagi kesejahteraannya, kita membutuhkan waktu untuk membuktikannya; tetapi kita dapat percaya itu akan terjadi selama mereka diberi dukungan yang tepat sebagaimana dirancang bagi mereka. Hingga saat ini yang tampaknya pasti adalah jumlah anak penyandang cacat yang bersekolah telah meningkat secara signifikan, sehingga target untuk mewujudkan Pendidikan untuk Semua pada tahun 2015 tampaknya menjadi lebih realistis.

 

 

Tinggalkan komentar